Semoga Belum Terlambat
Kembali.
"Aku ingin kembali", ucapku lirih. Namun, kata-kata itu hanya mampu kusematkan dalam hatiku. Berbicara pada diri sendiri bagaikan orang kesepian yang tak punya lawan bicara. Hatiku berontak, pikiran dan perasaanku berkonspirasi untuk menghancurkan semua yang telah kubangun sampai detik ini hanya karena aku menyadari bahwa kaulah orangnya, bukan dia. "Ah, aku pasti sudah kejam sekali", ucapku lagi. Tapi kali ini suara ku semakin berat. Air mata pun tak kuasa untuk kubendung lagi, seketika tangisan pun membuncah dan memecah keheningan didalam kamar mungilku. Derasnya air mata yang bercucuran tampaknya akan membanjiri pipi ku yang tirus. Menangis sejadi-jadinya karena begitu sakit, sesak sekali hingga aku merasa kesulitan untuk bernafas. Diluar itu, aku berharap kita bisa bertelepati dan kau tau bahwa aku disini tersiksa, menangisi dirimu yang kini perlahan akan meninggalkanku. "Jangan pergi!" Lagi lagi aku hanya bisa berteriak dan memohon di dalam hati. Seandainya aku dulu tak pernah menolak perasaan ini dan berpura-pura tak tau rasamu, aku mungkin tak akan sesesal ini. Kau mulai melangkahkan kakimu perlahan, awalnya masih ragu namun semakin lama aku melihat bayanganmu semakin mantap untuk mengikuti kemanapun badan tegapmu itu berjalan.
Fase.
Pagi. Kali ini aku terbangun. Kudapati diriku yang baru. Diriku yang kini tengah terkagum-kagum dan pikiranku yang selalu dipenuhi oleh satu orang, kamu iya kamu. Namun pagi ini aku juga akan mendapati dirimu yang baru. Segera setelah kita bertemu dan aku akan tau bahwa tak ada lagi namaku di hatimu. Aku hanya berusaha untuk memahami semua hal yang telah terjadi dalam hidupku. Jawabannya satu, ya itulah fase. Mungkin dulu apa yang aku rasakan ini pernah mampir pada dirimu dan menjadi salah satu fase dalam perjalanan hidupmu. Aku yang dulu dengan segala kepura-puraanku dan bersikap seolah tak memperdulikanmu telah merontokkan dan meluluhlantakkan mimpimu. Kini? Mungkin giliranku mendapati dan merasakan dirimu yang dulu dalam diriku. Jangan bingung dengan kalimatku. Sederhana saja, meskipun berat untuk kuucapkan di depanmu, tapi aku selalu berharap kita punya fase yang sama. Waktu dan orang yang tepat, aku harap kita punya kesamaan dalam dua hal itu. Aku tak ingin melewati fase yang sama denganmu namun dalam waktu yang berbeda. Aku.. Aku ingin bersamamu dalam berbagai fase, tak terpisahkan lagi. Harapan yang seperti ini tentunya akan tetap jadi harapan. Fase itu telah kau lalui, dan kini kau akan melangkah dengan begitu santai menyambut hatimu yang baru.
Harapan.
Entahlah, aku sendiri tak mengerti dengan diriku. Keegoisanku mulai membesar akan dirimu. Aku sendiri tak yakin lagi apa aku sanggup untuk menatap wajah teduhmu itu setelah melalui masa-masa terberat sepanjang kisah perjalanan hatiku ini. "Semoga belum terlambat..." kata-kata itu selalu ingin ku sugestikan untuk kita berdua. Aku masih menyimpan harapan akan itu semua. Berjalan dengan langkah kaki yang sama, ayunan tangan yang senada, dan suara hati yang seirama. "Hai kau yang disana, kau tentu tak akan keberatan bukan?" Jika kau hanya terdiam, aku akan anggap kau mengizinkanku untuk melakukan itu. Melakukan apa? Ya tentu saja menyimpan harapan. Mungkin aku tak dapat membawamu kembali secepat kilat seperti mauku. Maka dari itu, aku memutuskan untuk membawamu kembali secara perlahan. Aku mulai melantunkan doa-doa untuk mendekatkan jarak yang kini mulai menjauh dan menguatkan rasaku serta membawa kembali rasamu untukku. Pinta demi pinta ku mohonkan kepada Sang Maha Cinta. Aku bertemu denganmu melalui doa-doaku. Ku pasrahkan semua kepadaNya dan aku akan ikhlaskan semua ketetapanNya untukku, termasuk kamu.
Semoga belum terlambat :)
Comments
Post a Comment